Jumat, 11 Januari 2008

PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

I. PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Setelah selesai seluruh rangkaian proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara, Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk menyampaikan kesimpulannya masing-masing. Sesudah itu Hakim Ketua Sidang menunda sidang untuk memberikan kesempatan kepada majelis hakim untuk bermusyawarah dalam ruang tertutup guna memper-timbangkan putusannya. Dalam musyawarah yang dipimpin Hakim Ketua Sidang putusan merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Seandainya dalam musyawarah pertama tidak dapat menghasilkan suatu putusan, maka musyawarah dapat ditunda pada musyawarah berikutnya. Apabila dalam musyawarah kedua ini tidak juga diperoleh putusan melalui suara terbanyak, maka suara Hakim Ketua Sidang yang akan menentukan (Pasal 97. UPTUN).
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak nadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Bila putusan
Pengadilan itu tidak diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 UPTUN).
Menurut pasal 109 Undang-undang Noinor5 Tahun 1986, putusan Pengadilan harus memuat:
a. Kepala putusan berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersangkutan;
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yangjelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yangdiajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama
Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Suatu putusan yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan batalnya putusan tersebut.
Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa:
a. Gugatan dinyatakan gugur apabila penggugat tidak hadir pada waktu sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan, walaupun telah dipanggil secara patut; atau
b. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, karena adanya suatu eksepsi yang diterima oleh majelis Hakim; atau
c. Gugatan dinyatakan ditolak, setelah diperiksa temyata tidak terbukti; atau
d. Gugatan dinyatakan dikabulkan.
Dalam hal gugatan dinyatakan dikabulkan maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilaku-kan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluar-kan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu. Kewa­jiban itu berupa:
a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangy
kutan, atau
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Kewajiban tersebut di atas dapat disertai pembebanan ganti rugi dan khusus bagi sengketa kepegawaian kewajiban tersebut dapat disertai pemberian rehabilitasi (Pasal 97. UPTUN).
Bila dalam suatu persidangan diperlukan suatu putusan sela, putusan tersebut hanya dicantumkan dalam berita acara sidang dan tidak dibuat sebagai putusan tersendiri. Putusan sela. disebut juga putusan interlukotoir,yaitu putusan yang diambil untuk mengatasi persoalan yang timbul dalam persidangan, • seperti adanya suatu eksepsi, interpensi dan lain-lain. Walaupun putusan sela tidak dibuat dalam putusan tersendiri, tetapi harus juga diucapkan dalam persidangan.
II. PELAKSANAAN PUTUSAN
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dilaksa-nakan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu suatu putusan yang tak dapat diubah lagi melalui suatu upaya hukum (Pasal 115. UPTUN). Tidak semua orang yang dikenai putusan Pengadilan akan mau melaksanakannya dengan sukarela, sehingga kadang-kadang diperlukan upaya paksa, dalam hal ini akan dilakukan oleh aparat keamanan. Dalam pelak-sanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan adanya upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan, seperti halnya dalam pelaksanaan putusan Peradilan Pidana dan Peradilan Perdata. Tetapi istimewanya dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dimungkinkan adanya campurtangan Presiden sebagai KepalaPemerintahan. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Pemerintahan bertanggung jawab
dalam pembinaan Pegawai Negeri/Aparatur Pemerintahan (Rozali Abdullah, 1986-24). Presiden sebagai Kepala Peme­rintahan yang bertanggung jawab dalam pembinaan aparatur pemerintahan, tentunya juga bertanggung jawab agar setiap aparatur pemerintahan dapat mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk mentaati putusan Pengadilan sesuai dengan prinsip negara hukum yang kita anut.
Campur tangan Presiden dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara memang diperlukan mengingat pelaksanaannyatidaklah semudah pelaksanaan putusan Peradilan Pidanaataupun Peradilan Perdata. Hal inidisebabkankarenayang menjadi tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang bersifat Comdemnatoir, berisi penghukuman kepada tergugat dalam hal ini adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu kewajiban yang berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
d. membayar ganti rugi;
e. memberikan rehabilitasi.
Berhubung tergugat yang dihukum untuk melaksanakan kewajiban tersebut di atas adalah pejabat, maka keberhasilan dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut sangat tergantung kepada wibawa Pengadilan Tata Usaha Negara dan kesadaran hukum para Pejabat itu sendiri. Namun demikian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah mengatur sebaik mungkin agar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, malahan di mana perlu dimungkinkan adanya campur tangan Presiden sendiri
sebagai Kepala Pemerintahan.
Langkah pertamayangditempuh dalam pelaksanaan putus­an Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu penyampaian salinan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh Panitera atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya pada tingkat pertama kepada para pihak dengan surat tercatat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas ) hari.
Setelah 4 (empat) bulan sejak salinan putusan Pengadilan tersebut dikirimkan kepada tergugat tidak melaksanakan kewa-jibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) hunrfa yaitu mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketa-kan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dalam hal putusan Pengadilan tersebut mewajibkan kepada tergugat untuk melaksanakan:
a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
b. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan kepada pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Sesudah 3 (tiga) bulan sejak putusan Pengadilan tersebut diberitahukan kepada tergugat temyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh tergugat, maka penggugat mengajukan per-mohonan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan agar Ketua Pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Sesudah tergugat diperintahkan oleh Ketua Pengadilan untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut, temyata tidak mau melaksanakan, maka Ketua Peng­adilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan tergugat menurutjenjangjabatan. Dua bulan sesudah instansi atasan yang bersangkutan menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan, harus telah memerintahkan kepada Pejabat bawahannya (tergugat) untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut

1 komentar:

YOS JOHAN UTAMA mengatakan...

saya sudah membaca tulisan anda, nagaimana kalau kita membuat satu situs bersama yang khusus membahas masalah PERATUN ?